A.
Teori Darwin dan Psikologi Evolusioner
1.
Seleksi Alam dan Adaptasi
a.
Seleksi alam
atau biasa disebut para ilmuwan natural
selection adalah karya dari Darwin. Sebenarnya para ahli biologi sudah
sejak lama memikirkan tentang perubahan dalam struktur biologis, namun Darwin
lah yang mempopulerkan konsep natural
selection. Konsep Seleksi alam dalam relevansinya dengan psikologi
evolusioner akan dijelaskan dibawah ini :
-
Variabilitas ,
variabilitas disini ditekankan pada aktivitas visual, kekuatan fisik dan dalam
kecepatan belajar. Perbedaan-perbedaan inividulah yang menjadi unsur pokok
dalam terjadinya variabilitas ini.
-
Hanya beberapa perbedaan
individu yang dapat diwariskan artinya bahwa hanya beberapa sifat atau
perbedaan yang dapat diturunkan dari orang tua ke anaknya dan seterusnya.
Variasi yang disebabkan oleh mutasi genetik atau oleh kejadian lingkungan yang
tidak menguntungkan tidak akan diturunkan ke keturunan berikutnya. Demikian
pula variasi dalam belajar perilaku, entah itu menguntungkan atau tidak, akan
diteruskan ke generasi berikutnnya melalui belajar, tetapi tidak diwariskan.
Interaksi antar individu dengan tuntutan lingkungan tempat tinggal akan
memungkinkan terjadinya seleksi alam.
b.
Adaptasi
Adaptasi
diartikan sebagai cara
bagaimana individu mengatasi
tekanan lingkungan sekitarnya untuk bertahan hidup. Individu yang mampu beradaptasi
akan bertahan hidup, sedangkan yang tidak mampu beradaptasi akan menghadapi
kepunahan atau kelangkaan jenis.
Pada
dasarnya adaptasi adalah cara untuk mempertahankan keberadaan. Dilihat
dari latar belakang perkembangannya, pada mulanya adaptasi diartikan
sama dengan penyesuaian diri. Padahal adaptasi ini pada umumnya lebih mengarah
pada penyesuaian diri dalam arti fisik, fisiologis, atau biologis. Misalnya, seseorang yang pindah tempat dari daerah
panas ke daerah dingin harus beradaptasi dengan iklim yang berlaku di daerah
dingin tersebut. Dengan demikian. dilihat dari sudut pandang ini, penyesuaian
diri cenderung diartikan sebagai usaha mempertahankan diri secara fisik
(self-maintenance atau surnival). Oleh sebab itu,
jika penyesuaian diri hanya diartikan sama dengan usaha mempertahankan diri
maka hanya selaras dengan keadaan fisik saja, bukan penyesuaian dalam arti
psikologis. Akibatnya, adanya kompleksitas kepribadian individu serta adanya
hubungan kepribadian individu dengan lingkungan menjadi terabaikan. Padahal, dalam penyesuian diri sesungguhnya tidak sekadar penyesuaian
fisik, melainkan yang lebih kompleks dan lebih penting lagi adalah adanya
keunikan dan keberbedaan kepribadian individu dalam hubungannya dengan
lingkungan. Individu yangpunya kemampuan adaptasi yang tinggi akan punya juga
kemampuan survival yang tinggi.
c. Miskonsepsi tentang Adaptasi, Crawford (1998) memperingatkam adanya kesalahpahaman konsep “ survival of
the fittest “. Umumnya diyakini bahwa seleksi alam akan lebih menguntungkan
anggota individu yang terkuat, paling agresif, dan kesuksesan evolusi akan
melibatkan perjuangan dimana yang dominanlah yang akan menang. Akan tetapi ada
di beberapa individu yang mampu bertahan adalah mereka yang mampu beradaptasi
dengan menyembunyikan diri menghindari konfrontasi yang menyusahkan. Buss,
Haselton, Shackelford, Blaske, dan Wakefield (1998) juga memperingatkan kita
untuk menghindari miskonsepsi bahwa seleksi alam akan menimbulkan adaptasi
optimal dalam situasi tertentu. “ seleksi alam bukan seperti penyanyi yang
menggunakan suaranya untuk mencapai tujuan, yaitu menghibur orang lain. Seleksi
alam bekerja hanya dengan materi yang ada dan tidak bisa diramalkan”. Adaptasi
bukan mekanisme yang di desain secara optimal, mereka lebih baik dimengerti
sebagai solusi yang memperbaiki...dengan kualitas dan tampilan yang dibatasi
oleh variasi kekuatan yang lain. Evolusi tidak selalu berarti kemajuan, seleksi
alam berarti bahwa individu yang memiliki bakat-bakat tertentu yang adaptif
akan cenderung lebih bisa bertahan.
d.
Kecocokan Inklusif dan Teori Neo-Darwinian
Kita
melihat perilaku parental atau perilaku kerjasama dalam suatu kelompok sebagai
perilaku adaptif karena perilaku itu menggunakan survival dan kemungkinan
kesuksesan reproduksi. Perilaku yang mungkin membahayakan individu spesifik
akan dilihat sebagai adaptif sebab pengorbanan individu itu akan mungkin
meningkatkan survival anggota lain.
B.
Teori Belajar Bolles
1.
Riwayat hidup Robert C. Bolles
Robert
C. Bolles lahir di Sacramento, California pada 1928. Dia mendapatkan pendidikan
di rumah sampai usia 12 tahun. Dia memperoleh gelar B.A. di Stanford University pada tahun 1948
dan meraih M.A bidang matematika di Stanford setahun kemudian. Dia bertemu
dengan John Garcia (penemu efek garcia) di U.S. Naval Radiological Defense
Laboratory dekat San Fransisco. Yang kemidian Garcia menjadi sahabatnya
sepanjang hidup. Bolles segera bergabung dengan Garcia dalam program study
psikologi di Berkelay dimana mereka berdua belajar dibawah bimbingan Tolman.
Pada masa ini Bolles dan Lewis Petrinovic melakukan eksperimen awal yang
menimbulkan minat Bolles pada teori belajar evolusioner.setelah meraih gelar
Ph.D. pada 1956 , Bolles bertugas sebentar di University of Pennsylvania dan
kemudian ke Princeton University. Pada 1959, dia pindah ke Hollins College, dan
pada 1964 dia pindah ke University Washington dan mengajar di sana sampai dia
meninggal pada 8 April 1994 karena serangan jantung.
2.
Konsep Teori Utama
a.
Ekspektasi
Expektasi
menurut Bolles adalah bahwa belajar itu melibatkan pengembangan pengharapan.
Pengharapan disini mempunyai makna bahwa individu belajar satu jenis kejadian
yang mendahului kejadian sebelumnya. Robert Bolles
(1972, 1979) menunjukkan bahwa organisme tidak mempelajari respons baru selama
pengkondisian. Sebaliknya, organisme melakukan reaksi spesies-spesifik yang
sesuai dengan situasi. Menurut Bolles, apa yang dipelajari organisme
adalah ekspektasi yang membimbing perilaku yang belum dipelajari oleh mereka.
Suatu ekspektasi stimulus akan terbentuk ketika CS dikorelasikan dengan hasil
penting seperti ada tidaknya US. Pengkondisian
klasik melibatkan pengembangan expektasi S-S, sedangkan pengkondisian operan
dan instrumental melibatkan pengembangan ekpektasi R-S. Organisme
juga belajar ekspektasi respons, yang merupakan hubungan prediktif antara
respons dan hasil. Menurut Bolles, penguatan tidak memperkuat perilaku ; ia
memperkuat ekspektasi bahwa respons tertentu akan diikuti oleh suatu penguat. Belajar expektasi menurut Bolles tidak memerlukan
penguatan.
b.
Predisposisi Bawaan
Predisposisi
bawaan adalah kemampuan mental yang dibawa setiap individu dari lahir.
Penekanan Bolles terhadap expektasi menunjukkan pengaruh dari Tolman. Perbedaan
penting antara kedua teori ini adalah bahwa Tolman berkonsentrasi pada
expektasi S-S dan R-S yang dipelajari, sedangkan Bolles menekankan pada
expektasi S-S dan R-S bawaan dalam
analisisnya terhadap perilaku.
Menurut
Domjan (1997), kecacatan teori belajar tradisional seperti teori Thorndike,
Watson, Skinner, Hull, adalah bahwa hukum belajar “Berlaku secara ekual untuk
setiap tipe stimulus dan setiap tipe respon. Dikenal sebagai empirical
principel of equipotentiality (prinsip ekuipotensial empirirs). Prinsip ekuipotensial
empiris ini mempelajari bahwabelajar dalam satu spesies tertentu tidak
mempertimbangkan sejarah evolusi. Ketika
anggota suatu individu tidak belajar melakukan respon dalam kondisi yang
ditentukan, hasil yang tidak sesuai dengan harapan akan dinisbahkan ke
disfungsi kesalahan ekperimental atau dianngap sebagai gangguan yang tidak bisa
dijelaskan.
Berbeda dengan
asumsi ekuipotensialitas, Bolles (1988) mengatakan:
“ Saya
berpendapat bahwa ada banyak hal yang didapat dengan menggunakan asumsi bahwa ada
beberapa struktur pada kejadian-kejadian yang dipelajari hewan, dan bahwa ada
struktur terkait dalam organisme yang melakukan proses belajar itu... Organisme
meraih sukses apabila ia mampu belajar tentang apa-apa yang perlu untuk
dipelajari. Ini bukan kemampuan belajar acak seperti diyakini empiris, tetapi
kemampuan belajar yang terprogram secara genetik secara diyakini oleh nativis.”
Belakangan
ini kita melihat bagaimana psikologi evolusioner lebih menekankan pada
ekpektasi S-S dan R-S bawaan ketimbang ekpektasi yang dipelajari .
c.
Motivasi Membatasi Fleksibilitas Respons
Bolles
termasuk teoritis yang mementingkan motivasi. Menurutnya, motivasi dan belajar
tidak bisa dipisahkan. Namun dalam pandangan Bolles seseorang harus tahu apa
yang memotivasi dia maupun suasana yang dapat memotivasi dia. Menurut Bolles
(1979, 1988) organisme mungkin flexibel dalam hal ekpektasi S-S, ekpektasi R-S
mungkin lebih terbatas sebab motivasi menghasilkan bias respon.
d.
Argumen Tempat
Bolles
(1988) mengatakan bahwa pemahaman atas belajar harus diiringi dengan pemahaman
atas sejarah evolusi organisme. Dia mengatakan bahwa :
“ Hewan
punya kewajiban, dorongan, untuk belajar dan untuk tidak belajar, tergantung
pada tempat mereka berada dan bagaimana menyesuaikan diri dengan keseluruhan
skema. Kita dapat memperkirakan beberapa jenis pengalaman akan direfleksikan
dalam belajar, dan sebagaian lainnya tidak... tugas belajar yang nelanggar
komitmen biologis terhadap tempat dapat di perkirakan akan menhasilkan perilaku
anomali. Sebuah tugas belajar yang menguatkan predisposisi hewan untuk
berperilaku dengan cara tertentu akan lebih besar kemungkinannya untuk
sukses.Ini adalah argumen tempat.”
Psikologi evolusi lainnya memperluas argumen tempat ini
dengan gagasan Environment of
Evolutionary Adaptedness (EEA) istilah yang merujuk pada lingkungan fisik dan sosialtempat
munculnya adaptasi spesifik.
C.
Batas Biologis dari belajar
Teori bolles dibangun berdasarkan ide
bahwa predisposisi bawaan akan membatasi asosiasi yang bisa dipelajari
oleh organism dan respon yang akan diberikan organism dalam situasi pesifik.
Ide ini didukung oleh Seligman (1970), yang berpendapat bahwa beberapa spesies
belajar asosiasi dengan lebih mudah ketimbang spesies lainnya sebab mereka
secara biologis sudah lebih siap melakukannya. Demikian pula, bagi beberapa
spesies asosiasi mungkin akan sulit untuk dipelajari karena mereka secara
biologis kurang siap untuk itu. Jadi, tempat asosiasi pada preparedness
continuum (kesiapan kontinum) akan menentukan seberapa mudah asosiasi itu akan
dipelajari.
1.
Pengkondisian
instrumental
Dalam
eksperimen ini, petrinivich dan bolles (1954) melatih satu kelompok tikus untuk
berbelok ke kiri dan satu kelompok lainnya berbelok ke kanan dalam jalur
berbentuk T. kemudian diberi respon dari kucing yang akan berlari dari area
awal di “dasar” jalur T. tikus otomatis akan berlari ke titik pilihan yang ada di persimpangan jalur vertical dan
horizontal, dimana si tikus itu bisa memeilih belok kiri atau belok kanan.
Separuh dari tikus itu akan dibuat kehausan dan diperkuat oleh air dengan air
jika mereka melakukan respon berbelok yang benar dan sebagian tikus lainnya
dibuat kelaparan dan mendapat imbalan makanan jika mereka berbelok yang benar.
Dalam ekperimen ini, tikus mendapat air sebagai penguin akan mempelajari tugas
lebih banyak dengan lrbih cepat dan lebih sedikit melakukan kesalahan ketimbang
tikus yang diberi penguat makanan. Air
adalah sumber yang stabil , sungai atau mata air tidak mungkin akan
lenyap dalam semalam. Jadi, tkus dalam eksperimen ini menunjukkan bias respon
sebagai akibat dari sejarah evolusinya. Dengan kata lain, tikus siap untuk
pergi ke tempat yang sama untuk mencari air, tetapi mereka tidak akan siap
untuk pergi ketempat yang sama untuk menemukan makanan.
Melarikan
diri dan menghindar. Organisme
mungkin menunjukkan tingkat fleksibilitas respond an eskplorasi dalam hal
mendapatkan makanan atau minuman. Misalnya, tikus lapar mugnkin menekan tuas,
menelusuri jalur teka-teki, mengendus cangkir kecil dan sebagainya untuk
mendapatkan makanan. Namun, Bolles mengakui bahwa kadang-kadang hewan tidak
bisa belajar trial-and-error. Melarikan diri dari predator harus bisa dilakukan
dalam satu kali tindakan agar bisa bertahan hidup. Jadi, menurut Bolles,
ekspetasi R-S bawaan memberikan solusi untuk problem lingkungan yang mengancam
kelangsungan hidup.
Bolles
mencatat bahwa species-specific defensive reactions (SSDR) yang dilakukan tes
adalah diam, melarikan diri, mencicit, melompat dan menyerang beberapa
objek.pengkondisian penghindaran akan lebih kompleks. Menurut Bolles,
pengkondisian penghindaran ialah suatu sinyal yang mendahului
kejadian aversif (misalnya setrum), hewan belajar memperkirakan datangnya rasa
sakit jika, misalnya, satu nada diperdengarkan. Karena nada ini menjadi sinyal
adanya bahaya, maka nada itu akan memicu aktifnya SSDR.prediksi dari analisis
Bolles; bahwa semakin mirip respon yang mesti dikeluarkan hewan dalam eksperime
dengan respon dalam lingkungan, akan semakin mudah respon itu dipelajari. Jika
respon itu bukan bagian dari respon bawaan hewan tersebut, maka ia akan
dipelajari dengan susah payah atau mungkin tidak akan dipelajari sama sekali.
2.
Autoshaping
Bolles
menyatakan bahwa autoshaping melibatkan belajar S-S namun tidak terjadi belajar
respon baru. Dia menginterpretasikan perilaku mematuk itu sebagai respon bawaan
terhadap stimulus yang dikarenakan kontinguitas temporalnya dengan penyajian
makanan, mendapatkan property yang terkait dengan makanan.
3.
Pengkondisian Klasik
Ekperimen
yang dilakukan oleh gracia dan koelling, mengkaji kontribusi penting dari efek
gracia terhadap belajar. Gracia dan Koelling member tiga puluh tikus yang haus
kesempatan untuk meminum dalam empat kondisi. Satu kelompok diberi air yang
disinari cahaya terang dan suara berisik, dan jika tikus meminumnya ia akan
segera mendapat setrum dikakinya. Kelompok kedua diberi air jernih dan
berteriak, tetapi mereka tidak diestrum melainkan diberi sinar x yang menyebabkan
mereka merasa mual dan pusing. Kelompok ketiga diberi air tanpa cahaya dan
suara, teteapi air itu berasa sakarin,seperti yang ada dikelompok
pertama,diestrum kakinya segera setelah dia meminum larutan sakarin
itu.kelompok ke empat diberi air sakarin dan kemudian dibuat pusing dan mual
dengan sinar x.
Kelompok 1:air terang
dan berisik – setrum: menjauhi air
Kelompok 2:air terasng
berisik – pusing/mual: tidak ada aversi(sikap menjauh)
Kelompok 3:larutan
sakarin – setrum : tidak ada aversi terhadap sakarin
Kelompok 4: larutan
sakarin – pusing/mual: menjauhi sakarin
Dapat
dilihat bahwa air yang terang dan berisik menjadi CS efektif ketika dipasangkan
dengan setrum tetapi tidak efektif ketika dipasangkan dengan mual. Demikian
pula, air berasa sakarin adalah CS yang efektif ketika dipasangkan dengan rasa
mual, tetapi tidak efektif ketika dipasangkan dengan setrum. Gracia dan
Koelling menjelaskan hasil ini dengan mengatakan bahwa ada hubungan natural
antara kejadian eksternal dan rasa sakit yang dialami hewan. Dengan kata
lain,rasa sakit berasal dari “luar sana” dan karenanya hewan mencari predictor
rasa sakit itu, dalam kasus ini adalah cahaya dan suara berisik oleh hewan
diasosiasikan dengan minum. Namun, rasa mual dialamu secara internal. Oleh
karenanya, hewan ini merasa mual diasosiasikan dengan rasa sakarin bukan dengan
air yang berchaya terang dan berisik. Hewan secara biologis lebih siap untuk
membentuk asosiasi antara rasa sakarin dan rasa sakit
4.
Behaviorisme Biologis
Timberlake
berusaha mendamaikan pandangan dari ahli etologi, yang risetnya difokuskan pada
perilaku yang terjadi secara alamiah di alam liar, dengan pandangan dari
behavioris, yang risetnya difokuskan pada proses belajar di laboratorium.
Tomberlake memuji tradisional behavioral atas perannya dalam membangun metode
standar dan teknik pengukuran standar untuk meneliti belajar, dan mengaku
logika dari percobaan yang terkontrol yang telah matang pada masa jayanya
behaviorisme. Tetapi, seperti Bolles, Timberlake berpendapat bahwa usaha untuk
mengunkapkan prinsip belajar yang umum dan abstrak cenderung mengabaikan
perbedaan spesifik-spesifik dalam kesiapan belajarnya. Jadi, jika kita tidak
memahami organism dari perspektif bioevolusi, fenomena seperti yang diamati
dalam autoshaping atau “misbehavior” sering dianggap sebagai kesalahan dan
membuat kita mungkin menolak teori atau metode lain yang mungkin lebih berguna.
Timberlake
menegaskan bahwa riset belajar dilaboratorium sudah mengakomodasi propensitas
natural dari spesies yang paling sering dipakai dalam eksperimen. Misalnya,
Timberlake mengingatkan kita bahwa kotak skinner telah “disesuaikan” untuk
tikus laboratorium. Level dimana tuas diletakkan, pemberian makanan-mengendus,
menggaruk, mencicit dan sebagainya. Timberlake berkesimpulan bahwa kebanyakan
perilaku di laboratorium adalah overdertermined. Menurut Timberlake, perilaku
akan bersifat terlalu banyak ditentukan(overdetermined) jika ia terjadi secara
reliable ketika tidak ada manipulasi eksperimental seperti deprivasi makanan atau
air atau kontingensi respon-imbalan dan jika ada variasi pola sensor-motor di
balik perilaku tersebut. Timberlake mengatakan bahwa perilaku di jalur teka
teki di laboratorium adalah perilaku yang terlalu ditentukan.
D.
Psikologi Evolusioner dan Perilaku Manusia
Psikologi
evolusioner telah diaplikasikan secara luas untuk memahami perilaku manusia.
Apa yang oleh Wilson disebut sosiobiologi kini disebut psikologi evolusioner
dan ia merupakan topik yang sangat popular dalam psikolgi kontemporer. Meskipun
pembahasan nanti kita membatasi diri pada pengaruh belajar terhadap
perkembangan phobia, seleksi pasangan, parenting, kekerasan keluarga, altruism,
dan perilaku moral, serta perkembangan bahasa. Tetapi ada bidang lain dimana
prinsip evolusi telah diaplikasikan seperti agresi dan perang, pemerkosaan,
incest, dan bunuh diri, penghindaran incest, dan agama.
Dalam banyak hal, prinsip yang
menjadi pedoman penjelasan evolusi terhadap perilaku manusia adalah sejajar
dengan prinsip yang dipakai Bolles (1972, 1988) untuk mengaplikasikan
penjelasan evolusi terhadap perilaku non manusia.
Secara
spesifik, psikologi evolusioner mengasumsikan bahwa meski ada kemajuan luar
biasa yang dibuat oleh manusia, terutama selama 200 tahun terahkir kita masih
merupakan produk dari evolusi ribuan tahun. Karenanya seperti binatang lainnya,
kita terkadang menunjukan predisposisi bawaan untuk lebih memperhatikan
beberapa stimuli ketimbang stimuli lainnya
dan untuk mempelajari beberapa ekspetasi secara lebih mudah ketimbang
ekspetasi lainnya. Seperti binatang, kita juga terkadang cenderung punya bias
respon, terutama ketika didorong oleh keadaan motivasi yang signifikan secara
biologis. Menurut psikologi evolusioner, factor cultural dan biologi harus
dipertimbangkan guna mendapat pemahaman yang penuh tentang perilaku manusia.
1.
Perkembangan Phobia
Fobia pada
manusia, yang berupa rasa takut yang berlebihan terhadap suatu stimuli seperti
ular atau laba-laba, sulit untuk dijelaskan dalam pengkondisian klasik. Usaha
untuk menjelaskan akan menghasilkan permasalahan yang dangkal. Menurut bebrapa
para ahli, mereka juga menyebut bukti bahwa, meskipun monyet yang dibesarkan di
laboratorium tampaknya tidak memiliki rasa takut bawaan terhadap ular, mereka
akan dengan cepat ketakutan terhadap ular setelah melihat reaksi dari rekaman
video monyet liar yang bertemu dengan ular betulan atau mainan (cook &
mineka, 1990). Bahwa kemunculan rasa
takut terhadap ular atau laba-laba mungkin tidak membutuhkan persepsi sadar
atas stimuli itu.
Stimuli
ini menarik perhatian kita, dan kita dapat belajar tentangnya tanpa pemrosesan
informasi secara sadat. Ini bukan berarti bahwa, semua manusia pada dasarnya
takut pada ular, laba-laba, anjing, dsb. Psikologi evolusioner juga
mendiskusikan xenophobia atau takut terhadap orang asing. Fobia ini berasal
dari tendensi primitive untuk mendikotomisasikan orang sebagai sebagai anggota
satu kelompok (desa atau suku) dengan orang di luar anggota kelompok.
Dalam
xenophobia seseorang mungkin melihat adanya kecenderungan natural ke arah
prasangka. Menurut psikolog evolusioner bahwa suatu tendensi adalah natural
yakni, memiliki asal usul biologis yang sama bukan berarti tendensi itu selalu
baik. Mereka mengatakan adanya predisposisi atau tendensi biologis.
Psikolog evolusioner menegaskan
bahwa perilaku manusia selalu merupakan hasil dari interaksi antara tendesi
biologis dengan pengaruh cultural. Jadi, bahkan jika unsur biologi kita
mencondongkan hal yang di anggap tidak diinginkan, hal ini dapat dianggap oleh
pengaruh cultural.
2.
Seleksi Pasangan
Teoritis belajar
sosial-kognitif mungkin menunjukan bahwa definisi daya tarik dipelajari dengan
mengamati model yang paling menonjol dalam kultur tertentu misalnya orang tua,
teman, pimpinan dan sebagainya. Dalam masyarakat teknologi, model yang dibuat
atraktif oleh media. Akan tetapi, dari sudut pandang psikologi evolusioner
banyak standart yang ditransmisikan secara sosial sebenarnya adalah standart
buatan. Dan standart sosial yang berkaitan dengan daya tarik bisa berubah-ubah.
Misal gaya rambut, riasan wajah, pakaian, bahkan bentuk tubuh semuanya bisa
berubah. Bagi psikolog evolusioner, harus ada criteria seleksi pasangan yang
lebih mendasar ketimbang standart sosial untuk daya tarik fisik di dalam satu
kultur dan criteria ini bersifat universal. Walaupun ada kemiripan antara pria
dan wanita namun ada 2 pengecualin, laki-laki ada cenderung meletakkan urutan
daya tarik fisik ditingkat lebih tinggi ketimbang wanita. Sebaliknya, wanita
cenderung meletakkan kemampuan mencari nafkah yang baik lebih tinggi ketimbang
laki-laki.
3.
Parenting
Parenting adalah proses interaksi
berkelanjutan antara orang tua dan anak-anak mereka yang meliputi aktivitas-aktivitas berikut:
memberi makan (nourishing),
memberi petunjuk (guiding), dan melindungi (protecting) anak-anak
ketika mereka bertumbuh.5 Aktivitas-aktivitas parenting biasanya terjadi
dalam lingkungan keluarga, namun parenting tidak terbatas hanya pada
mereka yang melahirkan anak. Tanggung jawab parenting juga dilakukan oleh pihak-pihak lain dalam
masyarakat, seperti
anggota-anggota jemaat di gereja, para guru di sekolah, pembantu rumah tangga,
perawat bayi (baby sitter), dan bahkan teman-teman si anak, serta media masa
(TV, surat kabar, dan majalah). Kendati demikian, orang tua adalah pihak
yang paling bertanggung jawab dalam mengasihi dan memperhatikan
anak-anak serta menolong mereka bertumbuh.
a.
Seleksi kerabat,
kesesuaian evolusi membutuhkan kelangsungan bukan hanya gen-gen kita saja,
tetapi juga dari individu yang memiliki hubungan dengan kita (kecocokan
inklusi). Psikologi evolusioner memandang parenting bukan sebagai perilaku yang
dipelajari, tetpai sebagai tindakan yang dipengaruhi oleh seleksi kerabat.
b.
Perbedaan jenis kelamin, menurut psikologi evolusioner ada dua alasan mengapa
wanita cenderung lebih terlibat dalam parening ketimbang pria. Pertama karena wanita
memiliki lebih banyak investasi pada anak ketimbang pria. Kedua,agar perilaku
altruisme harus ada mekanisme yang membuat kita mengenali saudara kita,
termasuk anak-anak kita, sebagai pembawa gen.
c.
Kekerasan keluarga, kekerasan dalam keluarga hampir terjadi setiap hari.secara spesifik seleksi
kerabat menguatkan perilaku kekerasan terhadap anggota keluarga yang tidak
sedarah.
4.
Altruisme dan perilaku moral
Altruisme atau menolong demi
survive atau mempertahankan jenis dalam proses evolusi.
a. Perlindungan
kerabat (kin protection)
·
Orang
tua bekerja keras untuk menyekolahkan anak → untuk meneruskan keturunan. Secara alamiah orang
cenderung membantu pada orang yang pertalian darah, dekat dengan diri kita, ada
skala prioritas.
·
Dalam
bencana: anak-anak lebih dulu, keluarga, teman, tetangga. Naluri perlindungan
yang kuat dapat melewati batas moral dan keadilan => Nepotisme.
b. Timbal balik
biologik (biological reciprocity) → ada keseimbangan altruis dan egois prinsipnya orang
yang suka menolong akan ditolong, yang suka mementingkan diri sendiri →
dibiarkan.
c. Orientasi
seksual: kaum minoritas dalam seks (homo, lesbi) lebih memerlukan
pertolongan untuk mempertahankan kelompok sehingga lebih alturis daripada
heteroseks.
d.Teori Perkembangan
Kognisi
→ berhubungan dengan tingkat perkembangan kognitif. Piaget bahwa semakin tinggi
kemampuannya berfikir abstrak → semakin mampu mempertimbangkan antara usaha
atau biaya (cost) yang harus dikorbankan untuk menolong dengan hasil atau
perolehan.
·
Anak-anak
meminjamkan mainan yang mahal untuk suatu yang nilainya rendah (keuntungan).
Orang
dewasa → untung — Rugi
Kapan
orang menolong → faktor pemicu orang menolong.
5.
Bahasa
Menurut
psikologi evolusioner belajar bahasa mengilustrasikan kesiapan biologis dalam
proses belajar manusia. Pinker berpendapat bahawa ada bahasa universal , aturan
umum untuk setiap bahasa. Semua bahasa mengakui masa lalu, sekarang dan masa
depan. Semua bahasa punya referensi pelafalan dan semua bahasa memiliki variasi
susunan subjek/tindakan. Pinker menunjukkan bahwa anak secara biologis sudah
siap untuk meyusun struktur gramatical, bahkan tanpa model dan petunjuk.
Kompleksitas pemahaman dan penyusunan bahasa tidak memungkinkan kita untuk
mengasumsikan bahwa satu gen atau bahkan sekumpulan gen itu merupakan basis
dari fenomena bahasa.
E.
Pandangan Psikologi Evolusioner Tentang Pendidikan
Psikologi
evolusioner akan setuju dengan Thorndike dan Piaget,bahwa anak seharusnya
diajari hal-hal ketika mereka sudah siap untuk mempelajarinya,namuun mereka mungkin
menekankan jenis belajar yang berbeda dengan yang dikaji Thorndike dan
teoretisi lainnya.Hal ini berarti bahwa kurikulum dan aktivas sekolah,bersama
dengan pengaruh kultural lainnya, seperti praktik pengasuhan anak, harus
disusun sedemikian rupa sehingga bisa melemahkan tedensi alamiah itu.Dengan
kata lain, anak dan remaja perlu diajari bertindak dengan cara yang
bertentangan dengan predisposisi natural ini.Dilain pihak, psikolog evolusioner
juga percaya bahwa manusia secara biologis siap untuk belajar hal-hal yang
dinilai oleh suatu kultur.Misalnya, karena manusia cenderung bisa menguasai
bahasa, maka sekolah harus menekankan pada belajar bilingual di tahap awal
pendidikan.
Psikolog evolusioner mengingatkan pendidik untuk
menghindari asumsi bahwa perilaku ditentukan oleh gen atau kultur saja.Menurut
mereka,perilaku manusia selalu merupakan fungsi dari keduanya.Realisasi ini
mungkin secara khusus penting ketika menghadapi problem perilaku seperti
prasangka atau agresi.Barash (1979) mengingatkan: jelas ada banyak
ketidakadilan dan kewajiban kita untuk menunjukkanya ketika kita melihatnya,dan
berusaha melakukan perbaikan.
F.
Evaluasi Psikologi Evalusioner
1. Kontribusi
:
Kebanyakan teori belajar yang diulas
di bab ini menekankan pada yang pertama dan kurang memperhatikan atau bahkan
mengabaikan penjelasan yang kedua.Manfaat dari penjelasan yang lebih lengkap
ini tampak melanggar prinsip belajar yang sudah diketahui telah diatasi dengan
penjelasan evolusi. Selain itu,
psikologi evolusi memberikan fungsi heuristic yang penting.
2. Kritik :
Psikologi
evolusioner merupakan aplikasi prinsip-prinsip dan pengetahuan biologi
evolusioner terhadap teori dan riset psikologis. Asumsi sentralnya adalah bahwa
otak manusia terdiri atas sejumlah besar mekanisme terspesialisasi yang
dibentuk oleh seleksi alam sepanjang periode- periode waktu yang panjang guna
memecahkan masalah-masalah pemrosesan informasi yang berulang yang dihadapi
oleh nenek moyang manusia. Permasalahan ini mencakup hal-hal seperti: memilih
makanan yang hendak dimakan, menegosiasikan hierarki sosial, membagi-bagi
investasi di antara keturunan, dan menyeleksi pasangan. Lapangan psikologi
evolusioner berfokus pada upaya menjelaskan secara lengkap sifat dari
permasalahan pemrosesan informasi spesifik yang dihadapi sepanjang sejarah
evolusi manusia, dan pengembangan serta pengujian model-model adaptasi
psikologis (mekanisme-mekanisme dan strategi-strategi perilaku) yang telah
berevolusi sebagai solusi terhadap permasalahan ini.
Pendekatan
psikologi evolusioner banyak dikritik karena penjelasan-penjelasan yang
dihasilkannya nampaknya tidak dapat diuji serta bersifat post hoc (sesudah
kejadian) untuk setiap fenomena psikologis. Kritik ini berpandangan bahwa
penjelasan psikologi evolusioner hanyalah merupakan “cerita. Cerita” yang bersifat fleksibel dan tak
terbatas yang dapat dikonstruksi untuk
memperoleh kesesuaian dengan observasi empiris apapun. Dengan demikian,
ada pandangan bahwa penjelasan evolusioner tidak dapat difalsifikasi. Pandangan
ini berdasarkan dua klaim: (1) bahwa asumsi-asumsi dasar dari teori evolusioner
modern dianggap tidak dapat diuji, (2) bahwa model-model dan
hipotesis-hipotesis evolusioner spesifik yang diturunkan dari asumsi-asumsi
dasar ini juga dianggap tidak dapat diuji. Klaim kedua dijabarkan sebagai salah
satu atau seluruh dari pernyataan berikut: (2a) model-model dan hipotesis
evolusioner spesifik dianggap (secara prinsip) tidak dapat ditolak dengan basis
bukti; atau (2b) bahkan apabila model-model dan hipotesis-hipotesis evolusioner
dapat secara prinsip ditolak, standar bukti yang digunakan oleh ahli psikologi
evolusioner untuk mengevaluasi model-model dan hipotesis-hipotesis tersebut
tidak mengikuti prinsip-prinsip yang sudah baku diterima dalam filsafat ilmu.
3.
Kelemahan teori psikologi evolusioner
·
Mengabaikan kegiatan yang dilakukan berulang-ulang
oleh satu individu dapat meningkatkan pemahaman objek yang diulangi.
·
Akselarasi kultur yang berimplikasi pada tingkat
keragaman kultural
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus