Selasa, 01 Mei 2012

Robert C. Bolles dan Psikologi Evolusioner


A.   Teori Darwin dan Psikologi Evolusioner
1.      Seleksi Alam dan Adaptasi
a.      Seleksi alam atau biasa disebut para ilmuwan natural selection adalah karya dari Darwin. Sebenarnya para ahli biologi sudah sejak lama memikirkan tentang perubahan dalam struktur biologis, namun Darwin lah yang mempopulerkan konsep natural selection. Konsep Seleksi alam dalam relevansinya dengan psikologi evolusioner akan dijelaskan dibawah ini :
-          Variabilitas , variabilitas disini ditekankan pada aktivitas visual, kekuatan fisik dan dalam kecepatan belajar. Perbedaan-perbedaan inividulah yang menjadi unsur pokok dalam terjadinya variabilitas ini.
-          Hanya beberapa perbedaan individu yang dapat diwariskan artinya bahwa hanya beberapa sifat atau perbedaan yang dapat diturunkan dari orang tua ke anaknya dan seterusnya. Variasi yang disebabkan oleh mutasi genetik atau oleh kejadian lingkungan yang tidak menguntungkan tidak akan diturunkan ke keturunan berikutnya. Demikian pula variasi dalam belajar perilaku, entah itu menguntungkan atau tidak, akan diteruskan ke generasi berikutnnya melalui belajar, tetapi tidak diwariskan. Interaksi antar individu dengan tuntutan lingkungan tempat tinggal akan memungkinkan terjadinya seleksi alam.

b.      Adaptasi
Adaptasi diartikan sebagai cara bagaimana individu mengatasi tekanan lingkungan sekitarnya untuk bertahan hidup. Individu yang mampu beradaptasi akan bertahan hidup, sedangkan yang tidak mampu beradaptasi akan menghadapi kepunahan atau kelangkaan jenis.
Pada dasarnya adaptasi adalah cara untuk mempertahankan keberadaan. Dilihat dari latar belakang perkembangannya, pada mulanya adaptasi diartikan sama dengan penyesuaian diri. Padahal adaptasi ini pada umumnya lebih mengarah pada penyesuaian diri dalam arti fisik, fisiologis, atau biologis. Misalnya, seseorang yang pindah tempat dari daerah panas ke daerah dingin harus beradaptasi dengan iklim yang berlaku di daerah dingin tersebut. Dengan demikian. dilihat dari sudut pandang ini, penyesuaian diri cenderung diartikan sebagai usaha mempertahankan diri secara fisik (self-maintenance atau surnival). Oleh sebab itu, jika penyesuaian diri hanya diartikan sama dengan usaha mempertahankan diri maka hanya selaras dengan keadaan fisik saja, bukan penyesuaian dalam arti psikologis. Akibatnya, adanya kompleksitas kepribadian individu serta adanya hubungan kepribadian individu dengan lingkungan menjadi terabaikan. Padahal, dalam penyesuian diri sesungguhnya tidak sekadar penyesuaian fisik, melainkan yang lebih kompleks dan lebih penting lagi adalah adanya keunikan dan keberbedaan kepribadian individu dalam hubungannya dengan lingkungan. Individu yangpunya kemampuan adaptasi yang tinggi akan punya juga kemampuan survival yang tinggi.
c.       Miskonsepsi tentang Adaptasi, Crawford (1998) memperingatkam adanya kesalahpahaman konsep “ survival of the fittest “. Umumnya diyakini bahwa seleksi alam akan lebih menguntungkan anggota individu yang terkuat, paling agresif, dan kesuksesan evolusi akan melibatkan perjuangan dimana yang dominanlah yang akan menang. Akan tetapi ada di beberapa individu yang mampu bertahan adalah mereka yang mampu beradaptasi dengan menyembunyikan diri menghindari konfrontasi yang menyusahkan. Buss, Haselton, Shackelford, Blaske, dan Wakefield (1998) juga memperingatkan kita untuk menghindari miskonsepsi bahwa seleksi alam akan menimbulkan adaptasi optimal dalam situasi tertentu. “ seleksi alam bukan seperti penyanyi yang menggunakan suaranya untuk mencapai tujuan, yaitu menghibur orang lain. Seleksi alam bekerja hanya dengan materi yang ada dan tidak bisa diramalkan”. Adaptasi bukan mekanisme yang di desain secara optimal, mereka lebih baik dimengerti sebagai solusi yang memperbaiki...dengan kualitas dan tampilan yang dibatasi oleh variasi kekuatan yang lain. Evolusi tidak selalu berarti kemajuan, seleksi alam berarti bahwa individu yang memiliki bakat-bakat tertentu yang adaptif akan cenderung lebih bisa bertahan.  



d.      Kecocokan Inklusif dan Teori Neo-Darwinian
Kita melihat perilaku parental atau perilaku kerjasama dalam suatu kelompok sebagai perilaku adaptif karena perilaku itu menggunakan survival dan kemungkinan kesuksesan reproduksi. Perilaku yang mungkin membahayakan individu spesifik akan dilihat sebagai adaptif sebab pengorbanan individu itu akan mungkin meningkatkan survival anggota lain.

B.   Teori Belajar Bolles
1.      Riwayat hidup Robert C. Bolles
Robert C. Bolles lahir di Sacramento, California pada 1928. Dia mendapatkan pendidikan di rumah sampai usia 12 tahun. Dia memperoleh gelar  B.A. di Stanford University pada tahun 1948 dan meraih M.A bidang matematika di Stanford setahun kemudian. Dia bertemu dengan John Garcia (penemu efek garcia) di U.S. Naval Radiological Defense Laboratory dekat San Fransisco. Yang kemidian Garcia menjadi sahabatnya sepanjang hidup. Bolles segera bergabung dengan Garcia dalam program study psikologi di Berkelay dimana mereka berdua belajar dibawah bimbingan Tolman. Pada masa ini Bolles dan Lewis Petrinovic melakukan eksperimen awal yang menimbulkan minat Bolles pada teori belajar evolusioner.setelah meraih gelar Ph.D. pada 1956 , Bolles bertugas sebentar di University of Pennsylvania dan kemudian ke Princeton University. Pada 1959, dia pindah ke Hollins College, dan pada 1964 dia pindah ke University Washington dan mengajar di sana sampai dia meninggal pada 8 April 1994 karena serangan jantung.

2.      Konsep Teori Utama
a.      Ekspektasi
Expektasi menurut Bolles adalah bahwa belajar itu melibatkan pengembangan pengharapan. Pengharapan disini mempunyai makna bahwa individu belajar satu jenis kejadian yang mendahului kejadian sebelumnya. Robert Bolles (1972, 1979) menunjukkan bahwa organisme tidak mempelajari respons baru selama pengkondisian. Sebaliknya, organisme melakukan reaksi spesies-spesifik yang sesuai dengan situasi.  Menurut Bolles, apa yang dipelajari organisme adalah ekspektasi yang membimbing perilaku yang belum dipelajari oleh mereka. Suatu ekspektasi stimulus akan terbentuk ketika CS dikorelasikan dengan hasil penting seperti ada tidaknya US. Pengkondisian klasik melibatkan pengembangan expektasi S-S, sedangkan pengkondisian operan dan instrumental melibatkan pengembangan ekpektasi R-S. Organisme juga belajar ekspektasi respons, yang merupakan hubungan prediktif antara respons dan hasil. Menurut Bolles, penguatan tidak memperkuat perilaku ; ia memperkuat ekspektasi bahwa respons tertentu akan diikuti oleh suatu penguat. Belajar expektasi menurut Bolles tidak memerlukan penguatan.

b.      Predisposisi Bawaan
Predisposisi bawaan adalah kemampuan mental yang dibawa setiap individu dari lahir. Penekanan Bolles terhadap expektasi menunjukkan pengaruh dari Tolman. Perbedaan penting antara kedua teori ini adalah bahwa Tolman berkonsentrasi pada expektasi S-S dan R-S yang dipelajari, sedangkan Bolles menekankan pada expektasi  S-S dan R-S bawaan dalam analisisnya terhadap perilaku.
Menurut Domjan (1997), kecacatan teori belajar tradisional seperti teori Thorndike, Watson, Skinner, Hull, adalah bahwa hukum belajar “Berlaku secara ekual untuk setiap tipe stimulus dan setiap tipe respon. Dikenal sebagai empirical principel of equipotentiality (prinsip ekuipotensial empirirs). Prinsip ekuipotensial empiris ini mempelajari bahwabelajar dalam satu spesies tertentu tidak mempertimbangkan sejarah evolusi.  Ketika anggota suatu individu tidak belajar melakukan respon dalam kondisi yang ditentukan, hasil yang tidak sesuai dengan harapan akan dinisbahkan ke disfungsi kesalahan ekperimental atau dianngap sebagai gangguan yang tidak bisa dijelaskan.
Berbeda dengan asumsi ekuipotensialitas, Bolles (1988) mengatakan:
“ Saya berpendapat bahwa ada banyak hal yang didapat dengan menggunakan asumsi bahwa ada beberapa struktur pada kejadian-kejadian yang dipelajari hewan, dan bahwa ada struktur terkait dalam organisme yang melakukan proses belajar itu... Organisme meraih sukses apabila ia mampu belajar tentang apa-apa yang perlu untuk dipelajari. Ini bukan kemampuan belajar acak seperti diyakini empiris, tetapi kemampuan belajar yang terprogram secara genetik secara diyakini oleh nativis.”
Belakangan ini kita melihat bagaimana psikologi evolusioner lebih menekankan pada ekpektasi S-S dan R-S bawaan ketimbang ekpektasi yang dipelajari .

c.       Motivasi Membatasi Fleksibilitas Respons
Bolles termasuk teoritis yang mementingkan motivasi. Menurutnya, motivasi dan belajar tidak bisa dipisahkan. Namun dalam pandangan Bolles seseorang harus tahu apa yang memotivasi dia maupun suasana yang dapat memotivasi dia. Menurut Bolles (1979, 1988) organisme mungkin flexibel dalam hal ekpektasi S-S, ekpektasi R-S mungkin lebih terbatas sebab motivasi menghasilkan bias respon.

d.      Argumen Tempat
Bolles (1988) mengatakan bahwa pemahaman atas belajar harus diiringi dengan pemahaman atas sejarah evolusi organisme. Dia mengatakan bahwa :
“ Hewan punya kewajiban, dorongan, untuk belajar dan untuk tidak belajar, tergantung pada tempat mereka berada dan bagaimana menyesuaikan diri dengan keseluruhan skema. Kita dapat memperkirakan beberapa jenis pengalaman akan direfleksikan dalam belajar, dan sebagaian lainnya tidak... tugas belajar yang nelanggar komitmen biologis terhadap tempat dapat di perkirakan akan menhasilkan perilaku anomali. Sebuah tugas belajar yang menguatkan predisposisi hewan untuk berperilaku dengan cara tertentu akan lebih besar kemungkinannya untuk sukses.Ini adalah argumen tempat.”
Psikologi evolusi lainnya memperluas argumen tempat ini dengan gagasan Environment of  Evolutionary Adaptedness (EEA) istilah yang merujuk  pada lingkungan fisik dan sosialtempat munculnya adaptasi spesifik.

C.   Batas Biologis dari belajar
Teori bolles dibangun berdasarkan ide bahwa predisposisi bawaan akan membatasi asosiasi yang bisa dipelajari oleh organism dan respon yang akan diberikan organism dalam situasi pesifik. Ide ini didukung oleh Seligman (1970), yang berpendapat bahwa beberapa spesies belajar asosiasi dengan lebih mudah ketimbang spesies lainnya sebab mereka secara biologis sudah lebih siap melakukannya. Demikian pula, bagi beberapa spesies asosiasi mungkin akan sulit untuk dipelajari karena mereka secara biologis kurang siap untuk itu. Jadi, tempat asosiasi pada preparedness continuum (kesiapan kontinum) akan menentukan seberapa mudah asosiasi itu akan dipelajari.

1.      Pengkondisian instrumental
Dalam eksperimen ini, petrinivich dan bolles (1954) melatih satu kelompok tikus untuk berbelok ke kiri dan satu kelompok lainnya berbelok ke kanan dalam jalur berbentuk T. kemudian diberi respon dari kucing yang akan berlari dari area awal di “dasar” jalur T. tikus otomatis akan berlari ke titik pilihan yang  ada di persimpangan jalur vertical dan horizontal, dimana si tikus itu bisa memeilih belok kiri atau belok kanan. Separuh dari tikus itu akan dibuat kehausan dan diperkuat oleh air dengan air jika mereka melakukan respon berbelok yang benar dan sebagian tikus lainnya dibuat kelaparan dan mendapat imbalan makanan jika mereka berbelok yang benar. Dalam ekperimen ini, tikus mendapat air sebagai penguin akan mempelajari tugas lebih banyak dengan lrbih cepat dan lebih sedikit melakukan kesalahan ketimbang tikus yang diberi penguat makanan. Air  adalah sumber yang stabil , sungai atau mata air tidak mungkin akan lenyap dalam semalam. Jadi, tkus dalam eksperimen ini menunjukkan bias respon sebagai akibat dari sejarah evolusinya. Dengan kata lain, tikus siap untuk pergi ke tempat yang sama untuk mencari air, tetapi mereka tidak akan siap untuk pergi ketempat yang sama untuk menemukan makanan.
Melarikan diri dan menghindar. Organisme mungkin menunjukkan tingkat fleksibilitas respond an eskplorasi dalam hal mendapatkan makanan atau minuman. Misalnya, tikus lapar mugnkin menekan tuas, menelusuri jalur teka-teki, mengendus cangkir kecil dan sebagainya untuk mendapatkan makanan. Namun, Bolles mengakui bahwa kadang-kadang hewan tidak bisa belajar trial-and-error. Melarikan diri dari predator harus bisa dilakukan dalam satu kali tindakan agar bisa bertahan hidup. Jadi, menurut Bolles, ekspetasi R-S bawaan memberikan solusi untuk problem lingkungan yang mengancam kelangsungan hidup.
Bolles mencatat bahwa species-specific defensive reactions (SSDR) yang dilakukan tes adalah diam, melarikan diri, mencicit, melompat dan menyerang beberapa objek.pengkondisian penghindaran akan lebih kompleks. Menurut Bolles, pengkondisian penghindaran ialah suatu sinyal yang mendahului kejadian aversif (misalnya setrum), hewan belajar memperkirakan datangnya rasa sakit jika, misalnya, satu nada diperdengarkan. Karena nada ini menjadi sinyal adanya bahaya, maka nada itu akan memicu aktifnya SSDR.prediksi dari analisis Bolles; bahwa semakin mirip respon yang mesti dikeluarkan hewan dalam eksperime dengan respon dalam lingkungan, akan semakin mudah respon itu dipelajari. Jika respon itu bukan bagian dari respon bawaan hewan tersebut, maka ia akan dipelajari dengan susah payah atau mungkin tidak akan dipelajari sama sekali.

2.      Autoshaping
Bolles menyatakan bahwa autoshaping melibatkan belajar S-S namun tidak terjadi belajar respon baru. Dia menginterpretasikan perilaku mematuk itu sebagai respon bawaan terhadap stimulus yang dikarenakan kontinguitas temporalnya dengan penyajian makanan, mendapatkan property yang terkait dengan makanan.

3.      Pengkondisian Klasik
Ekperimen yang dilakukan oleh gracia dan koelling, mengkaji kontribusi penting dari efek gracia terhadap belajar. Gracia dan Koelling member tiga puluh tikus yang haus kesempatan untuk meminum dalam empat kondisi. Satu kelompok diberi air yang disinari cahaya terang dan suara berisik, dan jika tikus meminumnya ia akan segera mendapat setrum dikakinya. Kelompok kedua diberi air jernih dan berteriak, tetapi mereka tidak diestrum melainkan diberi sinar x yang menyebabkan mereka merasa mual dan pusing. Kelompok ketiga diberi air tanpa cahaya dan suara, teteapi air itu berasa sakarin,seperti yang ada dikelompok pertama,diestrum kakinya segera setelah dia meminum larutan sakarin itu.kelompok ke empat diberi air sakarin dan kemudian dibuat pusing dan mual dengan sinar x.

Kelompok 1:air terang dan berisik – setrum: menjauhi air
Kelompok 2:air terasng berisik – pusing/mual: tidak ada aversi(sikap menjauh)
Kelompok 3:larutan sakarin – setrum : tidak ada aversi terhadap sakarin
Kelompok 4: larutan sakarin – pusing/mual: menjauhi sakarin

Dapat dilihat bahwa air yang terang dan berisik menjadi CS efektif ketika dipasangkan dengan setrum tetapi tidak efektif ketika dipasangkan dengan mual. Demikian pula, air berasa sakarin adalah CS yang efektif ketika dipasangkan dengan rasa mual, tetapi tidak efektif ketika dipasangkan dengan setrum. Gracia dan Koelling menjelaskan hasil ini dengan mengatakan bahwa ada hubungan natural antara kejadian eksternal dan rasa sakit yang dialami hewan. Dengan kata lain,rasa sakit berasal dari “luar sana” dan karenanya hewan mencari predictor rasa sakit itu, dalam kasus ini adalah cahaya dan suara berisik oleh hewan diasosiasikan dengan minum. Namun, rasa mual dialamu secara internal. Oleh karenanya, hewan ini merasa mual diasosiasikan dengan rasa sakarin bukan dengan air yang berchaya terang dan berisik. Hewan secara biologis lebih siap untuk membentuk asosiasi antara rasa sakarin dan rasa sakit

4.      Behaviorisme Biologis
Timberlake berusaha mendamaikan pandangan dari ahli etologi, yang risetnya difokuskan pada perilaku yang terjadi secara alamiah di alam liar, dengan pandangan dari behavioris, yang risetnya difokuskan pada proses belajar di laboratorium. Tomberlake memuji tradisional behavioral atas perannya dalam membangun metode standar dan teknik pengukuran standar untuk meneliti belajar, dan mengaku logika dari percobaan yang terkontrol yang telah matang pada masa jayanya behaviorisme. Tetapi, seperti Bolles, Timberlake berpendapat bahwa usaha untuk mengunkapkan prinsip belajar yang umum dan abstrak cenderung mengabaikan perbedaan spesifik-spesifik dalam kesiapan belajarnya. Jadi, jika kita tidak memahami organism dari perspektif bioevolusi, fenomena seperti yang diamati dalam autoshaping atau “misbehavior” sering dianggap sebagai kesalahan dan membuat kita mungkin menolak teori atau metode lain yang mungkin lebih berguna.
Timberlake menegaskan bahwa riset belajar dilaboratorium sudah mengakomodasi propensitas natural dari spesies yang paling sering dipakai dalam eksperimen. Misalnya, Timberlake mengingatkan kita bahwa kotak skinner telah “disesuaikan” untuk tikus laboratorium. Level dimana tuas diletakkan, pemberian makanan-mengendus, menggaruk, mencicit dan sebagainya. Timberlake berkesimpulan bahwa kebanyakan perilaku di laboratorium adalah overdertermined. Menurut Timberlake, perilaku akan bersifat terlalu banyak ditentukan(overdetermined) jika ia terjadi secara reliable ketika tidak ada manipulasi eksperimental seperti deprivasi makanan atau air atau kontingensi respon-imbalan dan jika ada variasi pola sensor-motor di balik perilaku tersebut. Timberlake mengatakan bahwa perilaku di jalur teka teki di laboratorium adalah perilaku yang terlalu ditentukan.

D.   Psikologi Evolusioner dan Perilaku Manusia
Psikologi evolusioner telah diaplikasikan secara luas untuk memahami perilaku manusia. Apa yang oleh Wilson disebut sosiobiologi kini disebut psikologi evolusioner dan ia merupakan topik yang sangat popular dalam psikolgi kontemporer. Meskipun pembahasan nanti kita membatasi diri pada pengaruh belajar terhadap perkembangan phobia, seleksi pasangan, parenting, kekerasan keluarga, altruism, dan perilaku moral, serta perkembangan bahasa. Tetapi ada bidang lain dimana prinsip evolusi telah diaplikasikan seperti agresi dan perang, pemerkosaan, incest, dan bunuh diri, penghindaran incest, dan agama.
            Dalam banyak hal, prinsip yang menjadi pedoman penjelasan evolusi terhadap perilaku manusia adalah sejajar dengan prinsip yang dipakai Bolles (1972, 1988) untuk mengaplikasikan penjelasan evolusi terhadap perilaku non manusia.
Secara spesifik, psikologi evolusioner mengasumsikan bahwa meski ada kemajuan luar biasa yang dibuat oleh manusia, terutama selama 200 tahun terahkir kita masih merupakan produk dari evolusi ribuan tahun. Karenanya seperti binatang lainnya, kita terkadang menunjukan predisposisi bawaan untuk lebih memperhatikan beberapa stimuli ketimbang stimuli lainnya  dan untuk mempelajari beberapa ekspetasi secara lebih mudah ketimbang ekspetasi lainnya. Seperti binatang, kita juga terkadang cenderung punya bias respon, terutama ketika didorong oleh keadaan motivasi yang signifikan secara biologis. Menurut psikologi evolusioner, factor cultural dan biologi harus dipertimbangkan guna mendapat pemahaman yang penuh tentang perilaku manusia.

1.      Perkembangan Phobia
Fobia pada manusia, yang berupa rasa takut yang berlebihan terhadap suatu stimuli seperti ular atau laba-laba, sulit untuk dijelaskan dalam pengkondisian klasik. Usaha untuk menjelaskan akan menghasilkan permasalahan yang dangkal. Menurut bebrapa para ahli, mereka juga menyebut bukti bahwa, meskipun monyet yang dibesarkan di laboratorium tampaknya tidak memiliki rasa takut bawaan terhadap ular, mereka akan dengan cepat ketakutan terhadap ular setelah melihat reaksi dari rekaman video monyet liar yang bertemu dengan ular betulan atau mainan (cook & mineka, 1990).  Bahwa kemunculan rasa takut terhadap ular atau laba-laba mungkin tidak membutuhkan persepsi sadar atas stimuli itu.
      Stimuli ini menarik perhatian kita, dan kita dapat belajar tentangnya tanpa pemrosesan informasi secara sadat. Ini bukan berarti bahwa, semua manusia pada dasarnya takut pada ular, laba-laba, anjing, dsb. Psikologi evolusioner juga mendiskusikan xenophobia atau takut terhadap orang asing. Fobia ini berasal dari tendensi primitive untuk mendikotomisasikan orang sebagai sebagai anggota satu kelompok (desa atau suku) dengan orang di luar anggota kelompok.
      Dalam xenophobia seseorang mungkin melihat adanya kecenderungan natural ke arah prasangka. Menurut psikolog evolusioner bahwa suatu tendensi adalah natural yakni, memiliki asal usul biologis yang sama bukan berarti tendensi itu selalu baik. Mereka mengatakan adanya predisposisi atau tendensi biologis. 
Psikolog evolusioner menegaskan bahwa perilaku manusia selalu merupakan hasil dari interaksi antara tendesi biologis dengan pengaruh cultural. Jadi, bahkan jika unsur biologi kita mencondongkan hal yang di anggap tidak diinginkan, hal ini dapat dianggap oleh pengaruh cultural.

2.      Seleksi Pasangan
Teoritis belajar sosial-kognitif mungkin menunjukan bahwa definisi daya tarik dipelajari dengan mengamati model yang paling menonjol dalam kultur tertentu misalnya orang tua, teman, pimpinan dan sebagainya. Dalam masyarakat teknologi, model yang dibuat atraktif oleh media. Akan tetapi, dari sudut pandang psikologi evolusioner banyak standart yang ditransmisikan secara sosial sebenarnya adalah standart buatan. Dan standart sosial yang berkaitan dengan daya tarik bisa berubah-ubah. Misal gaya rambut, riasan wajah, pakaian, bahkan bentuk tubuh semuanya bisa berubah. Bagi psikolog evolusioner, harus ada criteria seleksi pasangan yang lebih mendasar ketimbang standart sosial untuk daya tarik fisik di dalam satu kultur dan criteria ini bersifat universal. Walaupun ada kemiripan antara pria dan wanita namun ada 2 pengecualin, laki-laki ada cenderung meletakkan urutan daya tarik fisik ditingkat lebih tinggi ketimbang wanita. Sebaliknya, wanita cenderung meletakkan kemampuan mencari nafkah yang baik lebih tinggi ketimbang laki-laki.

3.      Parenting
Parenting adalah proses interaksi berkelanjutan antara orang tua dan anak-anak mereka yang meliputi aktivitas-aktivitas berikut: memberi makan (nourishing), memberi petunjuk (guiding), dan melindungi (protecting) anak-anak ketika mereka bertumbuh.5 Aktivitas-aktivitas parenting biasanya terjadi dalam lingkungan keluarga, namun parenting tidak terbatas hanya pada mereka yang melahirkan anak. Tanggung jawab parenting juga dilakukan oleh pihak-pihak lain dalam masyarakat, seperti anggota-anggota jemaat di gereja, para guru di sekolah, pembantu rumah tangga, perawat bayi (baby sitter), dan bahkan teman-teman si anak, serta media masa (TV, surat kabar, dan majalah). Kendati demikian, orang tua adalah pihak yang paling bertanggung jawab dalam mengasihi dan memperhatikan anak-anak serta menolong mereka bertumbuh.
a.       Seleksi kerabat, kesesuaian evolusi membutuhkan kelangsungan bukan hanya gen-gen kita saja, tetapi juga dari individu yang memiliki hubungan dengan kita (kecocokan inklusi). Psikologi evolusioner memandang parenting bukan sebagai perilaku yang dipelajari, tetpai sebagai tindakan yang dipengaruhi oleh seleksi kerabat.
b.      Perbedaan jenis kelamin, menurut psikologi evolusioner ada dua alasan mengapa wanita cenderung lebih terlibat dalam parening ketimbang pria. Pertama karena wanita memiliki lebih banyak investasi pada anak ketimbang pria. Kedua,agar perilaku altruisme harus ada mekanisme yang membuat kita mengenali saudara kita, termasuk anak-anak kita, sebagai pembawa gen.
c.       Kekerasan keluarga, kekerasan dalam keluarga hampir terjadi setiap hari.secara spesifik seleksi kerabat menguatkan perilaku kekerasan terhadap anggota keluarga yang tidak sedarah.

4.      Altruisme dan perilaku moral
Altruisme atau menolong demi survive atau mempertahankan jenis dalam proses evolusi.
a. Perlindungan kerabat (kin protection)
·         Orang tua bekerja keras untuk menyekolahkan anak → untuk meneruskan keturunan. Secara alamiah orang cenderung membantu pada orang yang pertalian darah, dekat dengan diri kita, ada skala prioritas.
·         Dalam bencana: anak-anak lebih dulu, keluarga, teman, tetangga. Naluri perlindungan yang kuat dapat melewati batas moral dan keadilan => Nepotisme.
b. Timbal balik biologik (biological reciprocity) → ada keseimbangan altruis dan egois prinsipnya orang yang suka menolong akan ditolong, yang suka mementingkan diri sendiri → dibiarkan.
c. Orientasi seksual: kaum minoritas dalam seks (homo, lesbi) lebih memerlukan pertolongan untuk mempertahankan kelompok sehingga lebih alturis daripada heteroseks.
d.Teori Perkembangan Kognisi → berhubungan dengan tingkat perkembangan kognitif. Piaget bahwa semakin tinggi kemampuannya berfikir abstrak → semakin mampu mempertimbangkan antara usaha atau biaya (cost) yang harus dikorbankan untuk menolong dengan hasil atau perolehan.
·         Anak-anak meminjamkan mainan yang mahal untuk suatu yang nilainya rendah (keuntungan).
Orang dewasa → untung — Rugi
Kapan orang menolong → faktor pemicu orang menolong.

5.      Bahasa
Menurut psikologi evolusioner belajar bahasa mengilustrasikan kesiapan biologis dalam proses belajar manusia. Pinker berpendapat bahawa ada bahasa universal , aturan umum untuk setiap bahasa. Semua bahasa mengakui masa lalu, sekarang dan masa depan. Semua bahasa punya referensi pelafalan dan semua bahasa memiliki variasi susunan subjek/tindakan. Pinker menunjukkan bahwa anak secara biologis sudah siap untuk meyusun struktur gramatical, bahkan tanpa model dan petunjuk. Kompleksitas pemahaman dan penyusunan bahasa tidak memungkinkan kita untuk mengasumsikan bahwa satu gen atau bahkan sekumpulan gen itu merupakan basis dari fenomena bahasa.


E.   Pandangan Psikologi Evolusioner Tentang Pendidikan
Psikologi evolusioner akan setuju dengan Thorndike dan Piaget,bahwa anak seharusnya diajari hal-hal ketika mereka sudah siap untuk mempelajarinya,namuun mereka mungkin menekankan jenis belajar yang berbeda dengan yang dikaji Thorndike dan teoretisi lainnya.Hal ini berarti bahwa kurikulum dan aktivas sekolah,bersama dengan pengaruh kultural lainnya, seperti praktik pengasuhan anak, harus disusun sedemikian rupa sehingga bisa melemahkan tedensi alamiah itu.Dengan kata lain, anak dan remaja perlu diajari bertindak dengan cara yang bertentangan dengan predisposisi natural ini.Dilain pihak, psikolog evolusioner juga percaya bahwa manusia secara biologis siap untuk belajar hal-hal yang dinilai oleh suatu kultur.Misalnya, karena manusia cenderung bisa menguasai bahasa, maka sekolah harus menekankan pada belajar bilingual di tahap awal pendidikan.
            Psikolog evolusioner mengingatkan pendidik untuk menghindari asumsi bahwa perilaku ditentukan oleh gen atau kultur saja.Menurut mereka,perilaku manusia selalu merupakan fungsi dari keduanya.Realisasi ini mungkin secara khusus penting ketika menghadapi problem perilaku seperti prasangka atau agresi.Barash (1979) mengingatkan: jelas ada banyak ketidakadilan dan kewajiban kita untuk menunjukkanya ketika kita melihatnya,dan berusaha melakukan perbaikan.

F.    Evaluasi Psikologi Evalusioner
1.      Kontribusi :
            Kebanyakan teori belajar yang diulas di bab ini menekankan pada yang pertama dan kurang memperhatikan atau bahkan mengabaikan penjelasan yang kedua.Manfaat dari penjelasan yang lebih lengkap ini tampak melanggar prinsip belajar yang sudah diketahui telah diatasi dengan penjelasan evolusi.   Selain itu, psikologi evolusi memberikan fungsi heuristic yang penting.

2.      Kritik :
Psikologi evolusioner merupakan aplikasi prinsip-prinsip dan pengetahuan biologi evolusioner terhadap teori dan riset psikologis. Asumsi sentralnya adalah bahwa otak manusia terdiri atas sejumlah besar mekanisme terspesialisasi yang dibentuk oleh seleksi alam sepanjang periode- periode waktu yang panjang guna memecahkan masalah-masalah pemrosesan informasi yang berulang yang dihadapi oleh nenek moyang manusia. Permasalahan ini mencakup hal-hal seperti: memilih makanan yang hendak dimakan, menegosiasikan hierarki sosial, membagi-bagi investasi di antara keturunan, dan menyeleksi pasangan. Lapangan psikologi evolusioner berfokus pada upaya menjelaskan secara lengkap sifat dari permasalahan pemrosesan informasi spesifik yang dihadapi sepanjang sejarah evolusi manusia, dan pengembangan serta pengujian model-model adaptasi psikologis (mekanisme-mekanisme dan strategi-strategi perilaku) yang telah berevolusi sebagai solusi terhadap permasalahan ini.
Pendekatan psikologi evolusioner banyak dikritik karena penjelasan-penjelasan yang dihasilkannya nampaknya tidak dapat diuji serta bersifat post hoc (sesudah kejadian) untuk setiap fenomena psikologis. Kritik ini berpandangan bahwa penjelasan psikologi evolusioner hanyalah merupakan “cerita.  Cerita” yang bersifat fleksibel dan tak terbatas yang dapat dikonstruksi untuk  memperoleh kesesuaian dengan observasi empiris apapun. Dengan demikian, ada pandangan bahwa penjelasan evolusioner tidak dapat difalsifikasi. Pandangan ini berdasarkan dua klaim: (1) bahwa asumsi-asumsi dasar dari teori evolusioner modern dianggap tidak dapat diuji, (2) bahwa model-model dan hipotesis-hipotesis evolusioner spesifik yang diturunkan dari asumsi-asumsi dasar ini juga dianggap tidak dapat diuji. Klaim kedua dijabarkan sebagai salah satu atau seluruh dari pernyataan berikut: (2a) model-model dan hipotesis evolusioner spesifik dianggap (secara prinsip) tidak dapat ditolak dengan basis bukti; atau (2b) bahkan apabila model-model dan hipotesis-hipotesis evolusioner dapat secara prinsip ditolak, standar bukti yang digunakan oleh ahli psikologi evolusioner untuk mengevaluasi model-model dan hipotesis-hipotesis tersebut tidak mengikuti prinsip-prinsip yang sudah baku diterima dalam filsafat ilmu.

3.      Kelemahan teori psikologi evolusioner
·         Mengabaikan kegiatan yang dilakukan berulang-ulang oleh satu individu dapat meningkatkan pemahaman objek yang diulangi.
·         Akselarasi kultur yang berimplikasi pada tingkat keragaman kultural







1 komentar: